Kamis, 13 Maret 2008

Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten


Sebagai sebuah provinsi yang kesenjangan kemajuan dan ketertinggalan sangat kontras, pada awalnya Banten dikenal sebagai kota pelabuhan, yang memiliki posisi geografis yang sangat strategis. Terletak di ujung bagian Barat pulau Jawa dan berada di pintu Selat Sunda, Banten dapat dikatakan berfungsi sebagai pintu gerbang Barat dari kepulauan Nusantara. Dalam catatan sejarah, Pendudukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 dapat dikatakan sebagai suatu berkah tersembunyi bagi Banten. Sejak itu, pedagang Muslim mengalihkan jalur pelayarannya melalui pantai barat Sumatera dan tibalah di Banten, maka kemudian Banten berkembang menjadi pelabuhan transito para pedagang Islam dalam pelayaran ke bagian timur Nusantara. Catatan sejarah di Banten menjadi faktor penting sejarah nasional Indonesia.

Sekarang, setelah enam tahun menjadi provinsi, Banten belum berhasil memperkecil kesenjangan di antara ketertinggalan dan kemajuan yang ada. Status sebagai provinsi diperoleh Banten pada 4 Oktober 2000 melalui UU Nomor 23, yang dulunya merupakan salah satu keresidenan di Jawa Barat. Ada empat kabupaten (Tangerang, Serang, Pandeglang, Lebak) dan dua kota (Tangerang dan Cilegon) yang tergabung di dalamnya.

Paling tidak terdapat 7 isu fundamental pembangunan daerah yang dihadapi Banten saat ini, yaitu: Masalah penanganan Kemiskinan, Kesehatan Dasar, Pendidikan, Perekonomian Daerah, Sarana dan Prasarana Wilayah, Pengelolaan SDA dan LH, dan Kepemerintahan Daerah.

(I) Kemiskinan, terdapat paling tidak 6 indikator mendasar persoalan kemiskinan yang kita hadapi, yang beberapa diantaranya adalah (Gandung Ismanto, dalam Fajar Banten 21 Februari 2007): (1) Realitas proporsi penduduk miskin masih tinggi yang mencapai 8,58% terhadap jumlah penduduk, sementara menurut BKKBN mencapai 24,39% dari jumlah KK (yang bila dikonversi dengan asumsi jumlah rata-rata anggota keluarga tidak berubah (3,93), maka berarti jumlah penduduk miskin akan mencapai 1.892.836 jiwa (20,84%), bukan hanya 779.200 jiwa (8,58%); (2) Karakteristik kemiskinan terdistribusi dalam 35,92% di wilayah perkotaan dan 64,08% di wilayah perdesaan, dengan sebaran secara berurutan: Lebak 42,95%, Pandeglang 39,77%, Serang 25,69%, Cilegon 9,37%, Tangerang 13,79%, dan Kota Tangerang 5,1% (Smeru, 2004); dan (3) Angka Daya Beli Masyarakat baru mencapai Rp. 618.000 atau 84,00% dari Standar Minimal UNDP; (4) 230.457 (20%) keluarga menempati rumah tidak layak huni.

(II) Pendidikan, terdapat 16 indikator yang beberapa diantaranya adalah: (1) Pengeluaran per kapita untuk pendidikan hanya berkisar 22,85% atau sekitar Rp.142.000; (2) ARLS baru mencapai 8,5 tahun, atau setara kelas 2 SMP; (3) 46,31% penduduk berpendidikan SD, 13,76% tamat SLTP, 15,48% tamat SMA, 13,86% Diploma/Sarjana, dan sisanya, 10,59% masyarakat tidak diketahui tingkat pendidikannya; (4) Belum memadainya rasio kelas-siswa: SD/MI 49 siswa/kelas, SLTP/MTs 42 siswa/kelas, dan SMA/MA 199 siswa/kelas; (5) 63,99% dari ruang kelas SD/MI dalam kondisi rusak, SLTP/MTs 37,12% dan SMA/MA/SMK 12,76%; (6) Kesenjangan daya tampung Sekolah: Lulusan SD/MI rata2/th mencapai 168.000 lulusan; SMP/MTs 124.000 lulusan; dan SMA/MA 69.000 lulusan, yang artinya terdapat 44.000 lulusan SD tak tertampung di SMP, dan 25.000 lulusan SMP tak tertampung di SMA; (7) Sekitar 50% guru pada tahun 2009 akan pensiun; dan lain-lain.

(III) Kesehatan Dasar, terdapat 18 indikator terukur yang beberapa diantaranya adalah: (1) Rendahnya porsi pengeluaran per kapita untuk kesehatan yang hanya berkisar 1,33% atau sekitar Rp.6.180; (2) AHH baru mencapai 64,1 tahun; (3) Disparitas ketersediaan prasarana dan sarana kesehatan, tercatat 20 unit Rumah Sakit tersebar di wilayah utara dan 4 unit lainnya di wilayah selatan; (4) Daya tampung RS di wilayah utara mencapai 81.656 jiwa/RS, sementara di utara hanya 136.803 jiwa/RS; (5) Puskesmas tersebar 63,95% atau 110 unit di wilayah utara, dan 36,05% atau 62 unit tersebar di selatan; (6) 4.190 tenaga kesehatan atau 80,76% tersebar di wilayah utara, sementara sisanya 19,24% atau 998 orang tersebar di selatan (2005); (7) Angka Kematian Bayi mencapai 54,1; (9) Baru 59,7% bayi lahir yang ditolong oleh tenaga medis; dan lain-lain.

(IV) Perekonomian Daerah, terdapat 14 indikator penting dalam bidang perekonomian daerah, beberapa diantaranya adalah: (1) 57,14% dari 1.221 desa tergolong desa tertinggal, yang terdiri dari 458 desa tertinggal di daerah tertinggal dan 306 desa tertinggal di daerah non tertinggal (Meneg PDT, 17 April 2006); (2) Rendahnya akses permodalan bagi UMKM, realisasi kredit bagi UMKM hanya sebesar Rp. 40,174 Milyar, sehingga rata-rata setiap unit UMKM hanya menerima kredit sebesar Rp. 31.952 (2005); (3) UMKM mampu menyerap 1.256.471 tenaga kerja atau 31,99% terhadap total tenaga kerja, sementara pemberdayaannya belum cukup memadai; (4) Disparitas orientasi lokasi investasi masih sangat tinggi, 98,09% terkonsentrasi di Utara, 1,01% di Selatan; (5) Tingkat pendapatan per kapita petani dan nelayan rata-rata baru mencapai Rp. 8 juta /kapita/tahun atau setara dengan Rp. 667 ribu/kapita/bulan; (7) Penanganan potensi kawasan wisata alam dan spiritual masih belum optimal; dan lain-lain.
(V) Pada bidang Sarana dan Prasarana Wilayah terdapat 14 indikator yang beberapa diantaranya adalah: (1) Terbatasnya akses transportasi dalam mengurangi kesenjangan antar wilayah; (2) Belum memadainya kuantitas dan kualitas jaringan jalan, khususnya sepanjang 889,01 km jalan yang menjadi kewenangan Provinsi, dimana sekitar 13,89% (123,46 km) berada dalam kondisi baik, 53,91% (479,25 km) dalam kondisi sedang, serta 32,20% (286,30 km) berada dalam kondisi rusak ringan hingga rusak berat (2005); (3) Kurang memadainya fasilitas perlengkapan jalan serta terminal angkutan dan barang; (4) Belum optimalnya penanganan Bandara Internasional Soetta sebagai sumber pendapatan daerah; (5) Jaringan trayek transportasi antar daerah belum terstruktur dan terpadu; (6) Jaringan irigasi lintas kabupaten/kota terkelola sepanjang 866.915 m atau seluas 82.848 Ha, dengan kondisi 22,87% atau sepanjang 198.288 m tidak dapat berfungsi, 132.190 m (15,25%) dalam kondisi rusak ringan, sisanya dalam kondisi baik 536.437 m (61,88%) (2005); (7) Baru sekitar 70% desa yang terjangkau jaringan listrik; dan lain-lain.

(VI) Permasalahan pengelolaan SDA dan LH, terdapat 14 indikator nyata yang masih menjadi permasalahan, beberapa diantaranya: (1) Belum terpadu dan serasinya penataan ruang antara kepentingan nasional, provinsi dan kabupaten/kota; (2) Adanya degradasi kawasan hutan seluas 474.400 Ha yang berubah fungsi menjadi alang-alang, semak belukar, pertanian, tambak, pertambangan, dan lain-lain; (3) 32,57% sungai lintas kabupaten/kota rusak berat; (4) 8 buah Situ/Danau yang dikelola Provinsi Banten dalam kondisi rusak; (5) Pencemaran daerah pesisir dan laut di bagian utara dan barat Provinsi Banten; dan lain-lain.

(VII) Pada bidang kepemerintahan daerah, terdapat 19 indikator yang beberapa diantaranya: (1) Belum memadainya kerjasama dan koordinasi antar pemerintahan daerah dalam mengatasi isu-isu regional yang fundamental; (2) Sekitar 33,38% pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten memiliki tingkat pendidikan non kesarjanaan (tamatan SD hingga D.II); (3) PAD masih bertumpu pada pendapatan dari Pajak Daerah (96,98%); (4) Kualitas perencanaan, pengendalian, pengawasan dan evaluasi pembangunan, dimana proses dan hasil perencanaan, pengendalian dan evaluasi di tingkat daerah dan SKPD belum dapat diselenggarakan secara terpadu, tepat materi dan tepat waktu; (5) Kurang responsifnya pemerintah provinsi terhadap aspirasi pemekaran wilayah; (6) Kualitas pekerjaan proyek-proyek pemerintah provinsi yang sangat memprihatinkan; (7) Lemahnya law enforcement terhadap pelanggaran-pelanggaran dan/ penyimpangan dalam pemerintahan serta pelaksanaan proyek-proyek pembangunan; (9) Lemahnya komitmen untuk membumikan motto Iman Taqwa dalam setiap proses kepemerintahan dan pembangunan daerah; dan lain-lain.

Pembangunan di Banten seolah menghasilkan dua daerah yang berbeda: utara dan selatan. Wilayah utara meliputi Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, dan Kota Cilegon, luasnya 3.193,97 kilometer persegi, dihuni oleh sekitar 6 juta penduduk. Wilayah selatan meliputi Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang dengan luas 5.606,86 kilometer persegi. Sesuai dengan kebijakan nasional yang menetapkan wilayah utara sebagai kawasan industri, kegiatan ekonominya didominasi industri, perdagangan, dan jasa. Wilayah selatan adalah daerah pertanian, pertambangan, perkebunan, dan pariwisata (www.banten.go.id).

Kurang lebih ada 17 kawasan industri strategis di Banten, antara lain Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC), Nikomas Gemilang Industrial Estate, dan Modern Cikande Industrial Estate. Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Banten, pada tahun 2005 terdapat 17 proyek penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang disetujui dengan nilai investasi Rp 705 miliar, dan 92 proyek penanaman modal asing (PMA) dengan nilai investasi 1,9 juta dollar AS. Semua proyek PMA dan PMDN ini melibatkan 22.311 tenaga kerja, 256 orang di antaranya adalah tenaga kerja asing.

Pengonsentrasian industri di bagian utara mengakibatkan prasarana transportasi berupa jalan darat terpusat di Banten utara. Posisi wilayah kabupaten dan kota di bagian utara yang berdekatan dengan Jakarta juga berimbas terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah ini. Karena masuk dalam wilayah pengembangan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), Kabupaten dan Kota Tangerang menikmati "limpahan kemewahan" dari Jakarta. Karakteristik pertumbuhannya bisa dikatakan sama dengan Ibu Kota dan daerah penyangga lainnya seperti Bogor, Depok, dan Bekasi. Secara fisik perkembangan itu terlihat lewat pertumbuhan permukiman dengan rumah-rumah berharga ratusan juta hingga miliaran rupiah. Di Kota Tangerang terdapat perumahan Modernland (di Kecamatan Tangerang), Banjar Wijaya di Kecamatan Cipondoh, dan Metro Permata di Kecamatan Karang Tengah. Di Kabupaten Tangerang permukiman kaum berduit yang bekerja di Jakarta lebih marak lagi. Salah satunya adalah Bumi Serpong Damai di Kecamatan Serpong.

Imbas yang menguntungkan Kota dan Kabupaten Tangerang dari Jakarta terlihat pula pada kontribusi PDRB yang tinggi terhadap PDRB Provinsi Banten. PDRB Kota Tangerang yang mencapai Rp 21,01 triliun tahun 2005 memberikan kontribusi 34,2 persen terhadap PDRB Provinsi Banten yang nilainya Rp 61,35 triliun, sedangkan kontribusi dari Kabupaten Tangerang 26,38 persen. Dapat dikatakan, Kota dan Kabupaten Tangerang menjadi motor pertumbuhan bagi Banten.

Jika Banten utara tampak gemerlap, Banten selatan sebaliknya. Kemiskinan dan ketertinggalan tercium dari desa-desa di Kecamatan Cimaraga, Muncang, Cipanas, Cikulur, Bojongmanik di Kabupaten Lebak. Kondisi yang hampir sama dijumpai di desa-desa di Kecamatan Angsana, Pagelaran, Cigelulis, Cikeusik, dan Panimbang di Kabupaten Lebak.

Pada kedua kabupaten ini perkembangan wilayah terhambat oleh kondisi alam. Kawasan sekitar Gunung Halimun-Kendeng hingga Malingping, Leuwidamar hingga Bayah berupa pegunungan yang relatif sulit dijangkau. PDRB Kabupaten Lebak tahun 2005 hanya Rp 3,28 triliun (5,36 persen) dan Kabupaten Pandeglang cuma Rp 3,36 triliun (5,48 persen) (BE Julianery dalam Kompas 2006).

Kabupaten Pandeglang salah satu daru dua kabupaten termiskin berumur seratus tigapuluh tiga tahun. Tidak banyak yang berubah di Kabupaten Pandeglang, sebelum dan sesudah menjadi provinsi Banten. Di Pandeglang bank masih sedikit, dan jarang sekali ditemukan pusat perbelanjaan seperti Matahari dan Ramayana, tidak ada sama sekali. Namun, setiap akhir pekan dan hari libur sebagian warga Jakarta dan sekitarnya membanjiri tempat wisata yang terdapat di sepanjang pantai. Mulai dari Pantai Carita, Tanjung Lesung, hingga Ujung Kulon. Tidak jarang hotel berbintang dan berbagai bentuk rumah peristirahatan selalu dipenuhi orang-orang dari luar daerah.

Pantai barat Pandeglang berkembang begitu pesat. Namun demikian, belum mampu memberi kemajuan berarti bagi penduduk lokal. Pasalnya, perusahaan akomodasi seperti hotel dan penginapan masih banyak mempekerjakan kaum pendatang. Sementara itu, penduduk lokal hanya diberi kesempatan sebagai petugas keamanan dan kebersihan. Secara tersirat dapat dikatakan, sumber daya manusia Kabupaten Pandeglang belum mampu bersaing. Kecamatan Labuan dan Panimbang di pantai barat dan Kecamatan Pandeglang di sisi utara merupakan pusat pertumbuhan ekonomi kabupaten. Sedang 19 kecamatan lainnya belum mampu memacu perekonomiannya.

Dalam bidang pendidikan, di Banten sudah ada kelas bermain untuk anak di bawah usia lima tahun (balita), perguruan tinggi berstandar internasional, sekolah khusus untuk orang asing, dan lembaga pendidikan dengan biaya yang hitungannya menggunakan dollar AS. Namun, Banten juga mencatat angka putus sekolah yang tinggi, minimnya sarana pendidikan, dan adanya warga yang buta huruf. Saat pencanangan Hari Aksara Internasional Ke-41 di Provinsi Banten (12/9/2006), Pelaksana Tugas Gubernur Banten, Hj Ratu Atut Chosiyah, menyatakan sedikitnya ada setengah juta penduduk Banten yang buta aksara.

Ketidakmampuan penduduk mengenal abjad bisa jadi akibat kemiskinan. Ketika pemerintah pusat melancarkan kebijaksanaan memberikan bantuan langsung tunai sesudah kenaikan harga bahan bakar minyak Oktober 2005, pada pelaksanaan tahap pertama untuk Kabupaten Tangerang saja terdapat 152.000 keluarga miskin yang berhak atas bantuan itu. Tahun 2006, di Banten tercatat 702.000 keluarga miskin yang hidup di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini setara dengan 34,2 persen dari total keluarga di provinsi itu. Penduduk yang belum memiliki rumah layak huni mencapai 750.000 keluarga (49,3 persen).

Dalam bidang kesehatan, berdasar pada data di Dinas Kesehatan Provinsi Banten (6/9/2006), menunjukkan, selama dua bulan terakhir jumlah penderita gizi buruk di Kabupaten Serang meningkat dari 2.084 meningkat menjadi 2.297, di Kabupaten Pandeglang bertambah dari 2.268 menjadi 2.376. Selain itu, penambahan serupa juga terjadi di Kota Tangerang sebanyak 233 orang, dan di Kota Cilegon sebanyak 224 orang sementara data dari Kota Tangerang hingga saat ini belum tercantum di Dinkes Banten.


DEMOGRAFI

Posisi Geografis Propinsi Banten berada antara 5o7'50" – 7o1'11" LS dan 105o1'11" – 106o'7’12" BT, dengan luas wilayah 9.160,70 km2. Wilayah terluas adalah Kabupaten Pandeglang dengan luas 3.746,90 km2 dan wilayah terkecil adalah Kota Tangerang dengan luas 164,21 km2. Di bagian Utara, wilayah Propinsi Banten berbatasan dengan Laut Jawa. Batas sebelah Barat adalah Selat Sunda, sebelah Timur adalah Samudera Hindia dan batas sebelah Timur adalah Propinsi Jawa Barat. Oleh karena dikelilingi oleh laut, maka Propinsi Banten memiliki sumber daya laut yang potensial.

Dari tabel 4 di bawah kita dapat mengetahui bahwa jumlah keluarga prasejahtera di Pandeglang menempati urutan kedua, dan angkat penganguran menempati urutan pertama di Provinsi Banten. Hal ini dapat dijelaskan karena Pandeglang sedang menghadapi perubahan yang mendadak, karena status provinsi baru Banten. Misalnya harga tanah menjadi lebih tinggi, mahal. Kehidupan agraris masyarakat dengan kepemilikan lahan untuk dijadikan basis ekonomi, seiiring meningkatnya harga jual tanah, tak sedikit warga menjual tanahnya. Pengalihan fungsi lahan ini banyak terjadi di dekat-dekat tempat yang potensi menjadi lahan wisata, termasuk di Kecamatan Labuan. Ditinjau dari jenis kelamin, di Pandeglang jumlah penduduk laki-laki lebih banyak daripada jumlah penduduk perempuan.

Sementara itu, pada tabel 5, kita dapat ketahui bahwa angka pertambahan penduduk di Banten cukup signifikan dari pada tahun 2003. Lebih detail tentang peningkatan jumlah penduduk di Provinsi Banten dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 4. Kependudukan Provinsi Banten Tahun 2003

No Kab/Kota Lelaki Prmp KK KKTani KK Prasejahtera Penganggur
1 Pandeglang 520525 504773 244665 26348 135840 83071
2 Lebak 564728 517326 251219 22305 122524 67030
3 Tangerang 1268714 1256671 635370 13639 219337 138545
4 Serang 871840 882960 389683 24605 125951 82017
5 Kota Tangerang 613889 655001 272656 375 37917 58409
6 Kota Cilegon 154044 149477 76104 1550 18809 20363
JUMLAH 3993740 3966208 1869697 88822 660378 449435
Sumber: BPS Tahun 2003

Tabel 5. Kependudukan Provinsi Banten Tahun 2004
No Kab/Kota Lelaki Prmp KK
1 Pandeglang 567,045 533,866 260,496
2 Lebak 592,713 540,186 286,714
3 Tangerang 1,594,1061,600,176 764,896
4 Serang 921,938 912,576 419,520
5 Kota Tangerang 759,996 728,670 369,350
6 Kota Cilegon 171,797 160,075 79,360
JUMLAH 4,607,595 4,475,549 2,180,336
Sumber: BPS Tahun 2003

Tabel 6. Jumlah Penduduk di Provinsi Banten 1961 - 2005
Regency/Municipality 1961 1971 1980 1990 2000 2005
1. Pandeglang 440,213 572,628 694,759 858,435 1,011,788 1,106,788
2. Lebak 427,802 546,364 682,868 873,646 1,030,040 1,139,043
3. Tangerang 643,647 789,870 1,131,199 1,843,755 2,781,428 3,324,949
4. Serang 648,115 766,410 968,358 1,244,755 1,652,763 1,866,512
5. Tangerang (Mun) 206,743 276,825 397,825 921,848 1,325,854 1,537,244
6. Cilegon (Mun) 72,054 93,057 140,828 226,083 294,936 334,408
Banten 2,258,574 3,045,154 4,015,837 5,967,907 8,096,809 9,308,944
Sumber: BPS

KESEJAHTERAAN

Dalam penelitian ini pendapatan per kapita dan angka pertumbuhan ekonomi tidak digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat di Jakarta dan di Banten. Dan, indikator-indikator yang digunakan di antaranya: akses masyarakat terhadap listrik, mata pencaharian, dan akses masyarakat terhadap rumah. Rumah adalah kebutuhan pokok setiap manusia, namun untuk memilkinya tidaklah semudah seperti menghirup udara bebas. Faktor kesejahteraan menjadi penentu utama seseorang untuk mengakses rumah, apalagi di Jakarta lahan sangat mahal. Dengan pertimbangan ini, untuk melihat kesejahteraan masyarakat rumah dapat dijadikan indikator. Dengan menggunakan data dari BPS, angka yang tertera di dalamnya paling tidak akan dapat kita ketahui tingkat kesejahteraan masyarakat.

Akses terhadap listrik di Kabupaten Pandeglang masih tidak merata. Misalnya di di Desa Sukaresmi, Kubangkampil, dan Cikuya, Kecamatan Sukaresmi, sebanyak 3.996 kepala keluarga (KK) yang bermukim hingga kini belum menikmati listrik. Desa Kubangkampil yang paling banyak, yakni sekitar 1.200 KK. Sementara sisanya berada di desa-desa lain, seperti Desa Sukaresmi, Cikuya, Cibungur, dan beberapa desa lainnya. Dari dulu daerah ini belum pernah tersentuh prolisdes. Mereka terpaksa menggunakan lampu cempor dan petromak sebagai penerangan di malam hari. Akibatnya, sumber daya manusia (SDM) ketiga desa itu masih rendah karena tak ada informasi yang bisa diakses dari media elektronik. Belum adanya listrik juga mengakibatkan masyarakat kurang memerhatikan pendidikan anak.

Tabel 7. Jumlah Pelanggan listrik

No Nama Kabupaten Pelanggan PLN Pelanggan Listrik Non PLN
1 Pandeglang 122483 992
2 Lebak 113776 1102
3 Tangerang 543534 1610
4 Serang 290254 560
5 Kota Tangerang 265452 383
6 Kota Cilegon 74348 457
JUMLAH 1409847 5104

Tempat tinggal adalah titik awal dan titik akhir, dari sini semua kegiatan barawal dan berakhir. Rumah merupakan barang yang dapat dikonsumsi sesuai dengan kapasitas ekonomi, kesejahteraan yang dimilikinya, dan kondisi ini dapat dijadikan penjelas kesejahteraan masyarakat. Berdasakan data BPS tahun 2003 pada tabel 9 di atas masyarakat Kabupaten Pandeglang menempati rumah permanen nomor dua tersedikit, setelah Kota Cilegon. Sedangkan bangunan rumah di bantaran kali jumlahnya paling banyak, 5676 buah, yang dihuni 6086 keluarga. Sementara itu, jumlah rumah kumuh di Pandeglang menempati urutan pertama di Provinsi Banten, 4507 rumah, yang dihuni 5732 keluarga. Dari data-data di atas dapat dikatakan bahwa kesejahteraan masyarakat Pandeglang berada di tingkat bawah, rendah.

Tabel 9. Kondisi Perumahan di Provinsi Banten Tahun 2003

BP TP KKB BB LoRK LuRK JRK KKRK KKL KKB KKBl KKH LLK JKKL
1 Pandeglang 83461 143002 6086 5676 133 110 4507 5732 533 11970 4150 792 159 96
2 Lebak 88914 146181 2712 2630 13 36 1124 1106 367 3860 55 840 1301 573
3 Tangerang 434372 150963 4024 2632 178 353 8702 10347 30 8124 621 153 346 463
4 Serang 242274 91394 2247 2004 79 62 3108 5925 12 8556 940 10 245 44
5 Kota Tangerang 181363 78656 3965 4772 75 144 2294 4509 0 14044 341 0 47 11
6 Kota Cilegon 64576 9956 234 188 14 8 293 350 1 70 552 0 38 280
JUMLAH 1094960 620152 19268 17902 492 713 20028 27969 942 46624 6695 1795 2136 1467

Sumber: BPS 2003
Keterangan:
BP : Bangunan permanen KKRK : Keluarga rumah kumuh
TP : Tidak permanen KKL : Keluarga rawan bencana longsor
KKB : Keluarga di bantaran KKB : Keluarga rawan bencana banjir
BB : Bangunan di bantaran KKBI : Keluarga rawan bencana lainnya
LoRK : Lokasi rumah kumuh KKH : Keluarga di hutan lindung
LuRK : Luas rumah kumuh LLK : Keluarga di lahan kritis
JRK : Bangunan rumah kumuh JKKL : Keluarga di lahan kritis


PENDIDIKAN

Secara umum, kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Buktinya, data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Sementara itu, menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Ironisnya, posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).

Pada awal tahun 2007 di Kabupaten Pandeglang 42 ribu warganya tercatat masih buta huruf. Kondisi ini terjadi akibat minimnya anggaran untuk pemberantasan buta huruf. Dari 42 ribu warga yang buta huruf akan berkurang menjadi 22 ribu pada akhir tahun 2007. Sementara itu, di sekolah, madrasah, di bawah naungan departemen agama Kabupaten Pandeglang pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah siswa yang putus sekolah masih cukup tinggi, 52 siswa.

Tabel 10. Data Siswa Mengulang, Putus Sekolah, dan Lulus Tahun 2005/2006
pada Madrasah di Pandeglang

No Madrasah Mengulang Putus sekolah Lulus
1 Ibtidaiyah 27 11 1337
2 Tsanawiyah 12 22 4648
3 Aliyah 12 19 1405
Jumlah 51 52 7390
Sumber: Kandepag Kabupaten Pandeglang


Tabel 11. Kondisi Anak Usia Setingkat SD di Kabupaten Pandeglang ahun 2006

No Kecamatan Desa SD MI Jumlah Ponpes Paket A Tidak Sekolah Total
1 PANDEGLANG 10 10105 260 10365 0 40 0 10405
2 CADASARI 13 4404 303 4707 0 0 0 4707
3 KR. TANJUNG 13 4802 57 4859 59 0 17 4935
4 BANJAR 11 4324 613 4937 1220 30 149 6336
5 KADU HEJO 10 5319 0 5319 88 0 0 5407
6 CIMANUK 11 5687 314 6001 0 0 0 6001
7 CIPEUCANG 12 3460 196 3656 9 10 123 3798
8 MANDALAWANGI 15 2540 20 2560 0 20 370 2950
9 SAKETI 14 5226 943 6169 0 25 0 6194
10 BOJONG 8 4193 845 5038 16 28 88 5170
11 PICUNG 8 5139 945 6084 0 21 0 6105
12 PAGELARAN 13 4578 0 4578 0 0 0 4578
13 JIPUT 14 5417 511 5928 0 0 0 5928
14 MENES 15 7274 687 7961 0 0 0 7961
15 LABUAN 9 8323 366 8689 0 30 110 8829
16 CARITA 10 3806 92 3898 3 19 196 4116
17 PANIMBANG 12 12908 509 13417 0 20 878 14315
18 CIGEULIS 10 6136 315 6451 0 20 139 6610
19 CIBALIUNG 9 3606 209 3815 183 30 376 4404
20 CIMANGGU 12 4950 170 5120 0 0 107 5227
21 SUMUR 7 3278 63 3341 0 40 25 3406
22 CIKEUSIK 14 7266 241 7507 835 120 210 8672
23 ANGSANA 9 4155 57 4212 0 116 108 4436
24 PATIA 9 4424 206 4630 0 0 0 4630
25 MUNJUL 9 3801 76 3877 0 0 0 3877
26 CIKEDAL 10 3975 448 4423 209 20 487 5139
27 CISATA 13 4146 576 4722 3 20 41 4786
28 CIBITUNG 10 3137 207 3344 0 40 1218 4658
29 MEKARJAYA 8 2582 0 2582 0 0 6 2588
30 SUKARESMI 10 6366 0 6366 0 21 6387
31 SINDANGRESMI 9 3379 418 3797 2 0 0 3799
Jumlah 337 158.706 9647 168.353 2627 670 4648 176.354
Sumber: Kantor Departemen Pendidikan Kabupaten Pandeglang Tahun 2006

Jumlah anak usia sekolah setingkat SD di Pandeglang cukup banyak 4648 orang, atau sebesar 3 %. Artinya, 100 anak usia sekolah 3 dari mereka tidak sekolah. Kecamatan yang memiliki anak usia sekolah setingkat SD dan tidak mengenyam pendidikan terbanyak adalah Cibitung, 1218 dari 4658 anak. Boleh dikatakan angka ini mengalami penurunan, artinya minat anak terhadap sekolah semakin meningkat. Hal ini merupakan sebuah langkah yang cukup baik, karena selama ini pendidikan di mata masyarakat masih dipandang belum terlalu penting.

Sementara itu, jumlah anak usia sekolah setingkat SLTP jumlahnya banyak, 10248 orang atau 14 %. Ini artinya 100 anak usia sekolah setingkat SLTP di Pandeglang 14 dari mereka tidak mengenyam pendidikan sekolah atau pesantren. Namun, minat mengikuti program kesetaraan cukup tinggi, 2279 anak. Kecamatan yang terletak di pesisir barat pulau Jawa, Panimbang, memiliki jumlah anak yang tidak bersekolah atau tidak berpesantren paling banyak, 2189 dari 9807 anak.


Tabel 12. Kondisi Anak Usia Sekolah Setingkat SMP di Kabupaten Pandeglang
No Kabupaten SMP SMTP MTs JML Ponpes Paket B Tdk sklh Jml Total
1 PANDEGLANG 3583 0 1582 5165 0 65 0 65 5230
2 CADASARI 425 229 610 1264 138 124 0 262 1526
3 KR. TANJUNG 603 17 534 1154 135 50 177 362 1516
4 BANJAR 931 165 162 1258 436 37 0 473 1731
5 KADU HEJO 652 30 0 682 13 68 0 81 763
6 CIMANUK 2571 0 701 3272 160 77 812 1049 4321
7 CIPEUCANG 600 299 1089 1988 205 37 307 549 2537
8 MANDALAWANGI 3856 0 3555 7411 0 140 735 875 8286
9 SAKETI 917 317 917 2151 108 86 314 508 2659
10 BOJONG 509 171 295 975 158 36 314 508 1483
11 PICUNG 869 69 487 1425 0 45 0 45 1470
12 PAGELARAN 271 70 194 535 82 0 26 108 643
13 JIPUT 920 137 0 1057 5 45 0 50 1107
14 MENES 2297 140 1969 4406 85 125 0 210 4616
15 LABUAN 2335 458 1478 4271 0 40 81 121 4392
16 CARITA 1182 204 81 1467 59 26 433 518 1985
17 PANIMBANG 5849 40 1729 7618 338 32 1819 2189 9807
18 CIGEULIS 594 0 87 681 0 175 0 761 1442
19 CIBALIUNG 577 31 263 871 272 143 488 903 1774
20 CIMANGGU 653 156 293 1102 46 75 396 517 1619
21 SUMUR 553 170 168 891 115 120 1601 1836 2727
22 CIKEUSIK 1172 60 411 1643 150 100 345 595 2238
23 ANGSANA 501 6 206 713 139 185 483 807 1520
24 PATIA 1321 40 1304 2665 0 83 26 109 2774
25 MUNJUL 728 39 136 903 69 0 8 77 980
26 CIKEDAL 231 5 237 473 80 108 445 633 1106
27 CISATA 760 68 611 1439 65 37 423 525 1964
28 CIBITUNG 306 288 38 632 133 198 593 924 1556
29 MEKARJAYA 485 31 0 115 42 0 422 464 579
30 SUKARESMI 889 62 410 1361 97 22 0 119 1480
31 SINDANGRESMI 291 0 426 717 0 0 0 0 717
Jumlah 37431 3302 19973 60305 3130 2279 10248 16243 76548
Sumber: Kantor Departemen Pendidikan Kabupaten Pandeglang Tahun 2006

silahkan baca selanjutnya..

MUSTAHIL: MENJADIKAN KORUPSI SEBAGAI SEJARAH, JIKA PEMIMPIN LEMAH


SATU DEKADE SUDAH orde reformasi bergulir di tanah air ini. Paling tidak ada tiga permasalahan yang menjadi issue sentral dalam laju orde yang konon merupakan era solusi permasalahan Orde Baru: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Namun sayang, dalam hitungan 10 tahunan pertama ini penyelesain korupsi, kolusi dan nepotisme boleh dikatakan biasa-biasa saja. Dan, catatan penuntasan kasus KKN dari tahun per tahunnya masih sebatas hitungan pergantian angka saja, belum menjadi sebuah nama untuk diingat.

Awal Tahun 2008 ada dua hal peristiwa penting buat Indonesia berkenaan dengan isu korupsi: pertama, Konferensi Anti-korupsi Sedunia di Bali, dan kedua meninggalnya mantan Presiden Soeharto, tersangka pelaku korupsi utama di negeri ini. Pertemuan antarpejabat tinggi sedunia di Bali oleh United Nations Convention against Corruption itu dilangsungkan tak lama berselang setelah Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nation for Climate Change Conference-UNFCCC) pada tanggal 3-14 Desember 2007. Konvensi PBB Melawan Korupsi atau UNCAC di Nusa Dua, Bali, 28 Januari-1 Februari 2008 agenda utamanya adalah membangun cetak biru (blueprint) integritas dunia sebagai basis pijakan melawan korupsi.

Pertemuan untuk kedua kali para pemimpin dunia itu rencananya akan dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, presiden Republik Indonesia selaku tuan rumah urung membuka konferensi itu, ia lebih memilih melayat kematian mantan Presiden Soeharto. Ketidakhadiran pemimpin tertinggi di negeri ini di konferensi itu juga berbarengan dengan ketidakhadiran banyak pejabat tertinggi dari negara lain, khususnya dari Afrika. Sebagai gantinya, Direktur Eksekutif Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kriminal (UNODC) Antonio Maria Costa membuka konferensi itu. Dalam salah satu bagian sambutannya ia mengeluhkan banyaknya perwakilan negara anggota yang tidak hadir. ”Saya prihatin dengan ketidakhadiran hampir separuh negara pihak pada UNCAC kali ini. Mengapa banyak negara yang absen, terutama dari Afrika?” kata Costa yang dikutip KOMPAS, 4 Februari 2008.

Seolah mengisyaratkan, banyaknya ketidakhadiran perwakilan negara peserta sebagai ketidakseriusan pemerintah (penguasa) melawan korupsi. Antusiasme negara peserta konferensi anti-korupsi ini memang lebih sedikit dibandingkan dengan konferensi pemanasan global di tempat yang sama. Padahal dampak yang diakibatkan korupsi juga sedahsyat masalah lingkungan hidup itu. Sebuah gambaran tentang korupsi dan kerusakan alam yang ada dalam sebuah novel Badak Terakhir (Gagas Media dan Pustaka Utan Kayu, 2005), ini sangat menarik untuk dijadikan bahan belajar. Novel Hario Kecik, mantan Pangdam IX Mulawarman dengan pangkat terakhir brigadir jenderal (TNI) ini sarat kritik terhadap penggundulan hutan, yang tidak hanya melibatkan pejabat tinggi pemerintah tapi juga pejabat militer, dengan “ijin” pemerintah pusat. Melalui novel ini pembaca diajak mengeksplorasi keganasan dan sekaligus keindahan alam Kalimantan. Saat-saat awal bagian hutan hujan tropis di Indonesia, paru-paru dunia, itu mulai digunduli secara semana-mana. Kita juga diajak berpetualang untuk menemuai pengetahuan dan sekaligus kearifan lokal masyarakat Dayak di rimba raya Kalimantan, serta bagaimana konspirasi para penguasa berkorupsi & berkolusi serta merusak lingkungan. Dari novel ini kita mendapatkan penjelasan bahwa korupsi adalah tindakan kriminal, yang biasanya dilakukan oleh para penguasa, yang merugikan manusia dan lingkungan hidup.

Dari segi bahasa, "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, corrupt, yakni perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Secara hukum pengertian "korupsi" adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Masih banyak pengertian lain tentang korupsi baik menurut pakar atau lembaga yang kompeten, termasuk dari Ormas Islam.

Dua buku yang diterbitkan NU dengan judul ‘NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fikih’ dan Muhammadiyah dengan judul ‘Fikih Anti Korupsi: Perspektif Ulama Muhammadiyah’) memiliki ta’rif atau pengertian korupsi yang sama. Kedua buku ini memberi definisi korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan sendiri. Hal ini sangat dimungkinkan, karena keduanya mengambil referensi yang sama (Kamus Inggris-Indonesia, Oxford, Kamus Besar Bahasa Indonesia), UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih dan Bebas KKN, dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [UU Antikorupsi]). Namun dalam pandangan Islam tentang korupsi dalam kedua buku resmi terbitan Ormas terbesar itu ada perbedaan. NU lebih menitikberatkan pada asal-usul manusia sebagai seorang khalifah yang diberi amanah untuk mengatur kehidupan dunia agar menjadi lebih baik (h. 58). Tentang rizki dan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi, dengan berpatokan pada kaidah fiqih (ma haruma akhdhuhu, haruma I’tho uhu), NU menekankan bahwa uang hasil korupsi adalah haram dan tidak akan berubah menjadi halal, meskipun uang itu telah dizakati, dipakai untuk menyantuni anak yatim, diberikan sumbangan pada masjid, madrasah dan pesantren, maupun digunakan untuk ibadah umrah dan haji (h 121). Sementara itu, Muhammadiyah memberi tekanan pada prinsip dasar Islam dalam tatanan kehidupan sosial. Untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan beradab, manusia harus berperilaku amanah, bertindak adil, dan mau melakukan amar makruf nahi munkar (h. 39 - 48).

Walau terdapat banyak pengertian tentang korupsi, termasuk penyebabnya, modusnya dan ciri-cirinya, yang pasti korupsi selalu membawa dampak negatif. Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (www.transparansi.or.id) korupsi sistemik membawa dampak negatif terhadap proses demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan, yakni:

1. Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
2. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
5. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.

Korupsi yang sistemik juga menyebabkan:

1. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
2. Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga publik;
3. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak semestinya.

Tatanan birokrasi, tatanan masyarakat dan pengelolaan lingkungan hidup yang parah, hasil peninggalan Orde Baru yang korup, telah melahirkan gagasan di kalangan masyarakat sipil: tata pemerintahan yang baik (good governance) sebagai solusi alternatifnya. Bak gayung bersambut, istilah ini semakin populer di masyarakat—sepopuler dengan kata reformasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Secara sederhana prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik meliputi: 1. Partisipasi Masyarakat; 2. Tegaknya Supremasi Hukum; 3. Transparansi; 4. Peduli pada pemangku kepentingan (stakeholder); 5. Berorientasi pada Konsensus, 6. Kesetaraan; 7. Efektifitas dan Efisiensi; 8. Akuntabilitas; 9. Visi Strategis

Tata kelola pemerintahan yang buruk dalam masa Orde Baru dan pemerintah setelahnya telah membuat Indonesia masuk ke dalam daftar negara paling korup di dunia untuk beberapa lama. Pada saat yang sama, dalam upaya untuk mencari penyebab terjadinya krisis, masalah tata kelola pemerintahan menjadi sesuatu yang mendesak. Catatan Negara terkorup ini dapat dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2007. seperti yang dirilis Transparency International (TI) IPK Tahun 2007 menunjukkan peringkat korupsi Indonesia merosot. Indonesia berada di urutan ke- 143 dengan skor 2,3 atau lebih buruk dibandingkan 2006 yang berada pada peringkat ke-130 dengan skor 2,4. IPK merupakan peringkat korupsi yang diamati dari pelaku usaha dan analis tiap negara.Survei IPK mencakup 180 negara dan diukur dengan skor antara 0 hingga 10.Skor 0 merupakan indikator paling korup,sedangkan 10 paling bersih. Dalam daftar IPK 2007, peringkat IPK terburuk diterima Somalia dan Myanmar dengan skor 1,4. (SINDO, 27 September 2007).

Kemerosotan Indeks ini menurut Transparency International Indonesia (TII), dikarenakan tidak seriusnya kepada Negara dalam memberantas korupsi. Lebih lanjut, TII menagih janji kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memimpin langsung gerakan pemberantasan korupsi dan memastikan instruksinya dijalankan, serta memobilisasi dukungan lembaga lain, seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, Taufiequrachman (ketua KPK saat itu) menyatakan, keberhasilan pemberantasan korupsi di negara-negara lain karena dukungan kepala negaranya. "Presiden Yudhoyono perlu lebih kenceng memberantas korupsi. Di negara mana pun, keberhasilan pemberantasan korupsi bergantung pemimpin," katanya seperti dilansir KOMPAS, 27 September 2007.

Pemberantasan korupsi di Indonesia memang tidak mengalami kemajuan sejak 2003. Hal itu tercermin dari relatif rendahnya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sejak tahun itu. Pada tahun 2003 IPK 1.9, tahun 2004 IPK 2.0, tahun 2005 IPK, 2.2, tahun 2006 2.4, dan 2007 IPK 2.3. Bahkan, sejak 2002 sampai dengan 2007 IPK Indonesia hanya berada di kisaran angka 1,8 sampai dengan 2,3 pada skala dari 0 sampai dengan 10. Angka 0 adalah skor IPK untuk mengindikasikan tingkat persepsi terhadap korupsi yang tinggi dan 10 untuk tingkat persepsi yang rendah.

Islam, Good Governance, dan Gerakan Anti Korupsi. Memang ini bukan tema baru. Namun mengkaitkan antara ketiga wacana di atas rasanya tema ini masih cukup menjadi bahan perbincangan yang selanjutnya, semoga, menjadi wacana baru dalam kehidupan ummat Islam. Pada awal reformasi, di tengah tantangan besar seperti korupsi yang memengaruhi segala aspek kehidupan manusia, sayangnya ummat Islam cenderung terjebak dengan persoalan internalnya.

Begitupula dengan wacana good governance. Padahal kedua wacana tersebut bukanlah istilah yang baru ditemukan. Menurut Ahmad Fawaid Sjadzili “Fiqh Good Governance dan Anti-korupsi” korupsi merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, maka sudah pasti Islam mencelanya. Dengan demikian, segala tindakan yang secara moral tercela, maka dalam Islam selalu diidentifikasi dalam kategori dosa yang mendapat siksa bagi pelakunya. Sebaliknya, segala perbuatan yang secara moral terpuji, maka dalam Islam selalu diidentifikasi dan dijanjikan pahala bagi pelakunya. Artinya, segala tindakan yang berdampak positif bagi kemaslahatan publik merupakan tindakan yang sangat dianjurkan, dan sebaliknya segala tindakan yang berdampak negatif bagi kemaslahatan publik sangat dicela. Dalam konteks ini, korupsi merupakan tindakan amoral yang dihujat semua orang.

Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) merupakan prasyarat utama dalam pemberantasan korupsi. Tata kelola pemerintahan yang baik ini setidaknya didasarkan pada tiga prinsip utama, yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Transparansi ini diwujudkan dengan memberikan akses yang terbuka ke semua kalangan dalam setiap prosesnya. Dalam terminologi agama, transparansi ini disetarakan dengan kejujuran. Kejujuran merupakan pilar penting dalam terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik. Pilar kedua akuntabel. Dalam bahasa agama, ini terkait amanat, setia, dan tepat janji (al-amanah wa al-wafa’ bi al-‘ahdi). Orang yang mengedepankan transparansi dan jujur dalam tingkah lakunya, biasanya akan mudah dipercaya, dan dipastikan setia dan tepat janji. Adalah umat manusia yang ditahbiskan menjadi khalifah di muka bumi ini memiliki tanggung jawab untuk mengelola kehidupan. Bentuk tanggungjawabnya tentu saja beragam, dan sangat bergantung dengan peran yang dilakoninya. Sedangkan pilar ketiga partisipasi. Terminolongi ini dalam bahasa agama dikenal dengan prinsip at-ta’awun (gotong-royong). Pilar ini penting karena betapa pun individu-individu telah memegangi sifat jujur, bertanggungjawab, dan adil, namun tanpa dibarengi dengan semangat kerja sama dan kooperasi, maka untuk menggapai kebaikan bersama menjadi demikian sulit.

Ahmad Mahromi dalam makalahnya Melawan Korupsi dengan Agama: Melampaui Hukum Positif. mencoba mengaitkan peran agama dalam kehidupan publik ini diawali dengan serangkaian data korupsi dan penanggulangannya di Indonesia: agama juga mengurusi masalah kemasyarakatan, termasuk tawaran solusinya.

Dalam perbincangan mengenai bagaimanakah peran agama seharusnya dalam ruang publik, di penutup penulis menguraikan tentang dimensi kepublikan dari agama tersebut, yaitu berusaha menghindari sekularisasi klasik yang menolak agama, sekaligus juga sedikit meluruskan para Islam garis keras yang keliru mamahami dimensi publik agama tersebut.

Zuly Qodir menjelaskan upaya praksis yang dilakukan ummat Islam dalam memberantas korupsi dalam artikel Gerakan Muhammadiyah-NU Memberantas Korupsi:Evaluasi dan Refleksi. Tidak sebatas membeberkan upaya-upaya yang dilakukan dua Ormas Islam terbesar dalam memberantas korupsi, namun pendidik UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini juga mengevaluasi dan merefleksi gerakan yang sudah dilakukan. Tentunya, dengan harapan agar gerakan yang dilakukan lebih masif dan efektif. upaya melawan korupsi (jihad anti korupsi) antara Muhammadiyah dan NU baru dimulai di tahun 2004. Bersatunya Muhammadiyah-NU dalam gerakan pemberantasan korupsi, yang kemudian mendapatkan dukungan dari elemen-elemen masyarakat di luar Islam seperti Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu untuk memberantas korupsi di negeri berpenduduk mayoritas Islam. Tak hanya masyarakat Indonesia yang berhadap gerakan kedua Ormas Islam tersebut, namun juga masyarakat internasional.

Menurutnya, gerakan untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan ini tidaklah mulus. Tantangan Gerakan Muhammadiyah-NU dalam memberantas korupsi, tidak berasal dari faktor eksternal saja, tetapi juga dari internal. Misalnya, sulitnya melakukan audit internal organisasi atas orang-orang tertentu yang diduga atau secara desas-desus “memanfaatkan” Ormas untuk kepentingan pribadinya. Akibatnya, gerakan anti-korupsi kurang bergema dan efektif.

Melihat tidak masif dan efektinya gerakan yang digagas oleh Ormas Islam terbesar ini, penulis menibaratkan perang pendekar di goa hantu. Muhammadiyah-NU gencar melakukan kampanye anti-korupsi, tetapi hal itu sangat tergantung dengan pendanaan yang diharapkan bisa membantunya. Jika tidak ada dana yang membantunya, maka kampanye anti-korupsi juga tidak bisa dikerjakan secara serius dan terus menerus. Menurutnya lagi, sebenarnya menjadi tantangan utama gerakan anti-korupsi di Indonesia adalah perang melawan nafsu yang ada pada diri kita sendiri, terdapat pada institusi di mana kita berasal, agama dimana kita sama-sama memiliki ikatan emosional-primordial. Untuk itu, sebagai institusi keislaman, gerakan Muhammadiyah-NU dalam memberantas korupsi sebenarnya akan efektif bila dimulai dari dalam organisasi. Caranya, pelaku korupsi diberi hukuman dengan efek jera yang lebih “sadis” agar memberi contoh pada publik. Sebagaimana kisah Nabi Saw atas Fatimah yang ditanya soal pencurian, jika Fatimah putriku kata Nabi mencuri maka akan saya potong tangannya.

Nur Imam Subono, Masyarakat Warga, Demokrasi Partisipatoris, dan Good Governance: Menuju Representasi Populer, peneliti DEMOS ini mencoba memaparkan keberadaan dan kiprah Forum Warga dalam kaitannya partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi yang saat ini banyak mendapat kritik dan juga keraguan. Pada saat bersamaan, memberikan penilaian atau tinjauan kritis atas tatakelola pemerintahan yang diasumsikan sebagai jalan keluar yang pas untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan masyarakat dengan sifat dari bawah ke atas. Selain itu, tulisan ini mencoba mencari solusi yang lebih memadai dalam upaya kita memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia agar lebih ”bermakna” buat masyarakat pada umumnya.

Masalah internal umat Islam yang saat ini masih melilit tidak bisa menjadi alasan untuk menutup diri. Di antara problem krusial yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam adalah korupsi. Korupsi mesti diberantas karena inilah penyakit utama yang mengganjal kemajuan bangsa Islam selama ini: kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Pemberantasan korupsi nampaknya akan tetap menjadi cerita masa kini, dan korupsi tidak menjadi sejarah, jika dunia Islam masih mengamanatkan kepada pemimpim yang lemah, sekalipun dipilih secara demokratis.

silahkan baca selanjutnya..

Kabupaten Majalengka (Jawa Barat)


Kabupaten Majalengka sebuah kota kecil yang bersahaja di Jawa Barat. Di sana tidak ada gedung pencakar langit, tidak semarak oleh jajaran mall atau pusat perbelanjaan modern lainnya. Malahan, kota kecil ini nampak bersih. Kebersihan tidak hanya nampak pada fisik kota, namun juga komunitas masyarakatnya. Salah satunya adalah di Pondok Pesantren Al Mizan di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi.

Kebupaten Majalengka berada pada ketinggian 19 – 857 m di atas permukaan laut. Sebagian besar merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 500 – 857 m di atas permukaan laut, 40%. Kondisi ini menjadikan kabupaten seluas 1204,24 km2 yang meliputi 23 kecamatan mempunyai tanah yang subur. Tak salah jika Pemerintah Kabupaten Majalengka mengandalkan bidang agribisnis dalam upaya meningkatkan pemasukan asli daerah. Hal ini tercermin dari catatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2005 yang mencatat pemasukan sebesar 30,08% dari sektor agribisnis, terdiri dari pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Bahkan, potensi di sektor agribisnis ini dijadikan visi kabupaten “Majalengka Kabupaten Agribisnis Termaju di Jawa Barat Tahun 2010 Berbasis Masyarakat Agamis dan Partisipatif”.

Kabupaten Majalengka yang terdiri dari 331 desa (264 berstatus desa swadaya dan 67 berstatus desa swakarya) berpenghuni penduduk sebanyak 1.169.337 (2005), yang terdiri dari laki-laki 577.633 jiwa dan perempuan 591.704 jiwa. Ini artinya, kabupaten yang luasnya 2,71% luas Provinsi Jawa Barat ini kepadatan penduduknya mencapai 971 orang per km2. Mayoritas penduduk usia kerja di Majalengka bergerak di bidang pertanian, yaitu sekitar 58,73 % dari total penduduk usia produktif. Komoditi utama pertanian yang memegang kendali utama selain padi, adalah tanaman ubi kayu dan bawang merah.

Selain itu, 36% dari total penduduk usia produktif bekerja di sektor industri pengolahan. Industri pengolahan yang ada bermacam-macam, misalnya: industri bola sepak, genteng keramik, anyaman rotan, anyaman bambu, dan makanan. Industri pembuatan bola sepak terdapat di Kecamatan Kadipaten berkualitas ekspor. Negara tujuan ekspor meliputi Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, serta Amerika. Bahkan, perusahaan bola sepak di Majalengka ini pernah memenangkan tender pada Piala Dunia di Perancis tahun 1998. Dan, sangat dimungkinkan pada Piala Dunia di Afrika Selatan 2010, bola sepak dari tangan-tangan trampil masyarakat Majalengka akan menjadi perwakilan Indonesia di ajang yang menyedot perhatian seluruh masyarakat dunia itu.

Pusat perekonomian Kabupaten Majalengka ada di wilayah utara. Pasar besar terdapat di Kecamatan Kadipaten dan Jatiwangi. Di pasar-pasar itu hasil pertanian dan industri olahan dari kecamatan lain dipasarkan.

Kekayaan alam di bumi Majalengka cukup besar dan didukung kemampuan sumber daya manusianya yang ulet serta terampil cukup menjadi modal utama bagi kabupaten ini untuk mencapai cita-cita (semboyan kota): Sindangkasih Sugih Mukti, yang berarti Majalengka (Sindangkasih) kaya dan bahagia.

Selain bola sepak yang menjadikan Majalengka di kenal masyarakat internasional, di bidang sastra kabupaten yang ulang tahunnya diperingati setiap tanggal 7 Juli ini juga melahirkan seorang sastrawan yang dikenal masyarakat internasional: Ajib Rosidi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ulrich Kratz (1988), salah seorang peneliti sastra Indonesia asal Inggris, hingga tahun 1983, Ajip adalah pengarang puisi dan cerita pendek yang paling produktif, yang telah menghasilkan 326 judul karya yang dipublikasikannya dalam 22 majalah, seperti majalah sastra Horison, Kisah, Zenith, Mimbar Indonesia, dan Budaya Jaya. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai penyair, Ajip dikenal pula sebagai penulis cerita pendek, novel, dan naskah drama, yang ditulisnya tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa Sunda.
Penyair kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938 ini, mulai menulis kegiatannya dalam bidang sastra sejak usia remaja. Pendidikan formal yang ditempuhnya hanya tingkat SMA, dan itu pun tidak tamat. Namun demikian, Ajip mampu mengembangkan dirinya hingga mencapai tingkat dunia, yang ditempuhnya secara autodidak. Kemampuan Ajip dalam menulis tidak hanya menguasai satu bidang, tetapi banyak bidang (puisi, cerpen, novel, esai). Namun, orang lebih mengenalnya sebagai penyair yang pernah mendapat Hadiah Sastra Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) pada tahun 1955-1956 untuk kumpulan puisi yang ditulisnya (Pesta). Hadiah yang sama juga diterimanya pada 1967-1968 untuk kumpulan cerita pendek yang ditulisnya, yang diberi judul Sebuah Rumah Buat Hari Tua.

Di tingkat nasional, menginjak usianya yang ke-517, citra Majalengka membaik. Tahun 2007 kota ini kembali mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini ditandai dengan diterimanya Satya Lencana Pembangunan Bidang Pertanian serta Bidang Koperasi & UKM oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Tekad untuk menjadi lebih baik dapat dilihat dari visi pembangunan kabupaten ini, yang berusaha menjadikan masyarakatnya agamis dan partisipatif. Upaya pemerintah untuk mengajak masyarakatnya lebih agamis (Islamis) ini seolah meneruskan perjalanan sejarah keagamaan masyarakat Majalengka.

Menurut berbagai sumber sejarah, sekitar tahun 1480 M, masa masuknya agama Islam di Jawa, di Desa Sindangkasih Majalengka berkuasa Ratu Nyi Rambut Kasih, keturunan Prabu Siliwangi yang memeluk Agama Hindu. Dalam suatu waktu, Ratu mendengar daerah Talaga, tempat tujuan awal ia akan bermukim, sudah masuk Islam. Sehingga ia urung menggapai tujuan awalnya, dan menancapkan kekuasaanya di Sindangkasih (Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati).

Tahun 1489, Pangeran Muhammad dan istrinya Siti Armilah mendatangi Nyi Rambut Kasih untuk mengajak ratu masuk Islam, dan kerajaanya menjadi bagian wilayah Kesultanan Cirebon. Nyi Rambut Kasih menolak, dan pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon menjadi babakan sejarah masuknya Islam di Majalengka. Akhir pertempuran itu, Kerajaan Sindangkasih menjadi bagian kesultanan, dan Ratu Nyi Rambut Kasih tetap memeluk Hindu. Tak lama berselang, Kesultanan Cirebon wilayahnya semakin luas, yakni, Talaga, Maja, dan Majalengka. Sejak itu, babakan baru sejarah keagamaan masyarakat Majalengka dimulai, dengan penyebaran Agama Islam oleh bupati yang memeluk Islam.

Pada 1650, pengaruh Mataram masuk ke Majalengka, karena Cirebon telah menjadi kekuasaan Mataram. Akibat kekalahan perang antara Kerajaan Mataram dan kolonial, tahun 1705, seluruh Jawa Barat masuk kekuasaan Hindia Belanda. Pada 1706 Belanda menetapkan Pangeran Aria Cirebon sebagai gubernur, bagian dari struktur kekuasaan kolonial, untuk seluruh Priangan. Para bupati diberi wewenang untuk mengambil pajak dari rakyat, termasuk Majalengka bagi kepentingan upeti kepada Belanda. Di bawah pemerintahan kolonial, Majalengka, tidak memiliki kekuatan politis keagamaan. Galibnya, pendidikan keagamaan terabai oleh pemerintah. Hal ini menjadi perjalanan umum sejarah pendidikan keagamaan di Indonesia, pendidikan keagamaan selanjutnya berbasis di masyarakat: pesantren salah satunya.

silahkan baca selanjutnya..

Kamis, 05 Juli 2007

Masa kini

WAJIB ADA
ULAMA PEREMPUAN PRO-DEGLOBALISASI;
Sebuah tantangan perempuan intelektual keagamaan di Indonesia


Radjimo Sastrowi

Abstrak
Rekolonialisasi yang diterapkan oleh kapitalisme global telah membawa akibat semakin tertindasnya posisi perempuan. Setelah ditindas dalam tatanan masyarakat yang patriarkis, negara yang kurang aspiratif, sekarang tatanan dunia baru (kapitalisme global) semakin memperkuat posisi terjajah kaum perempuan. Sebagai salah satu pembawa arah dan tujuan masyarakat, ulama (khususnya perempuan) dituntut lebih luas dalam menjelaskan ajaran keagamaan kepada ummatnya. Selain menjelaskan agama, yang perlu didekunstruksi, ulama perempuan juga harus dapat menjelaskan kepada ummatnya struktur tatanan dunia baru yang menindas, yang sekaligus menawarkan solusinya. Dalam masyarakat yang masih menempatkan perempuan sebagai sub-masyarakat, kehadiran ulama perempuan yang pro-deglobalisasi sangat vital. Tulisan ini akan menjelaskan peran penting kehadiran ulama perempuan pro-deglobalisasi dan tugas penting yang harus diembannya

silahkan baca selanjutnya..

Masa lalu

DI BAWAH BAYANG-BAYANG IBUKOTA:
Penataan Daerah di Provinsi Banten
Dari Jaman kolonial Sampai Jaman Reformasi


Radjimo Sastro Wijono
radjimo@hotmail.com

Abstraksi

Makalah ini akan membahas penataan daerah yang terjadi di sebuah provinsi termuda di Indonesia, Banten, sejak jaman kolonial Belanda sampai jaman reformasi. Penataan daerah yang terjadi di Banten, yang pernah menjadi faktor penting sejarah Indonesia sangat menarik untuk dipelajari. Wilayah yang terletak di ujung barat pulau Jawa ini menjadi tempat penting bagi datangnya babakan baru bagi perjalanan sejarah di tanah air: Sebagai pintu masuk para pedagang multietnis, yang kemudian menjadikan wilayah nusantara ini multikultur.
Situasi ekonomi-politik menjadi faktor utama dalam Penataan daerah di Banten. Saat penguasa tradisional (kesultanan) sudah berhasil dilumpuhkan oleh kolonial Hindia Belanda, pada abad ke-19 beberapa kali Banten mengalami perubahan penataan daerah kekuasaannya. Gubernur Jenderal Daendles mengatur daerah Banten menjadi tiga kabupaten: Banten Hulu, Banten Hilir, dan Anyer. Sementara itu, Gubernur Jendral Raffles (Inggris), yang memandang perlunya sekutu, membutuhkan kekuasaan tradisional (walau posisinya lemah) dengan memberikan kewenangan daerah. Di masa kolonial Inggris ini Banten terbagi menjadi empat kabupaten: Banten Lor, Banten Kulon, Banten Tengah, dan Banten Kidul.
Kebijakan yang berubah-ubah dalam manata daerah (territorial reform) oleh para penguasa tentu saja telah membawa perubahan di dalam kehidupan masyarakat. Baik kehidupan sosial politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya masyarakat plural yang memiliki kepercayaan dan kebiasaan yang berbeda-beda. Dapat kita katakan, seharusnya yang menjadi faktor utama dalam penataan daerah adalah bukan faktor politik saja (baik di bawah bayangan situasi politik dan ekonomi di Jakarta maupun Bandung), namun yang juga harus diperhatikan adalah dalam menentukan pengaturaan daerah adalah faktor kepentingan masyarakat luas dan lingkungan, apalagi dalam masyarakat yang multikultur.


Kata kunci: sejarah penataan daerah, perubahan sosial, Banten dalam lintas orde
.

silahkan baca selanjutnya..

Anda pengunjung ke