Kamis, 13 Maret 2008

MUSTAHIL: MENJADIKAN KORUPSI SEBAGAI SEJARAH, JIKA PEMIMPIN LEMAH


SATU DEKADE SUDAH orde reformasi bergulir di tanah air ini. Paling tidak ada tiga permasalahan yang menjadi issue sentral dalam laju orde yang konon merupakan era solusi permasalahan Orde Baru: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Namun sayang, dalam hitungan 10 tahunan pertama ini penyelesain korupsi, kolusi dan nepotisme boleh dikatakan biasa-biasa saja. Dan, catatan penuntasan kasus KKN dari tahun per tahunnya masih sebatas hitungan pergantian angka saja, belum menjadi sebuah nama untuk diingat.

Awal Tahun 2008 ada dua hal peristiwa penting buat Indonesia berkenaan dengan isu korupsi: pertama, Konferensi Anti-korupsi Sedunia di Bali, dan kedua meninggalnya mantan Presiden Soeharto, tersangka pelaku korupsi utama di negeri ini. Pertemuan antarpejabat tinggi sedunia di Bali oleh United Nations Convention against Corruption itu dilangsungkan tak lama berselang setelah Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nation for Climate Change Conference-UNFCCC) pada tanggal 3-14 Desember 2007. Konvensi PBB Melawan Korupsi atau UNCAC di Nusa Dua, Bali, 28 Januari-1 Februari 2008 agenda utamanya adalah membangun cetak biru (blueprint) integritas dunia sebagai basis pijakan melawan korupsi.

Pertemuan untuk kedua kali para pemimpin dunia itu rencananya akan dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, presiden Republik Indonesia selaku tuan rumah urung membuka konferensi itu, ia lebih memilih melayat kematian mantan Presiden Soeharto. Ketidakhadiran pemimpin tertinggi di negeri ini di konferensi itu juga berbarengan dengan ketidakhadiran banyak pejabat tertinggi dari negara lain, khususnya dari Afrika. Sebagai gantinya, Direktur Eksekutif Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kriminal (UNODC) Antonio Maria Costa membuka konferensi itu. Dalam salah satu bagian sambutannya ia mengeluhkan banyaknya perwakilan negara anggota yang tidak hadir. ”Saya prihatin dengan ketidakhadiran hampir separuh negara pihak pada UNCAC kali ini. Mengapa banyak negara yang absen, terutama dari Afrika?” kata Costa yang dikutip KOMPAS, 4 Februari 2008.

Seolah mengisyaratkan, banyaknya ketidakhadiran perwakilan negara peserta sebagai ketidakseriusan pemerintah (penguasa) melawan korupsi. Antusiasme negara peserta konferensi anti-korupsi ini memang lebih sedikit dibandingkan dengan konferensi pemanasan global di tempat yang sama. Padahal dampak yang diakibatkan korupsi juga sedahsyat masalah lingkungan hidup itu. Sebuah gambaran tentang korupsi dan kerusakan alam yang ada dalam sebuah novel Badak Terakhir (Gagas Media dan Pustaka Utan Kayu, 2005), ini sangat menarik untuk dijadikan bahan belajar. Novel Hario Kecik, mantan Pangdam IX Mulawarman dengan pangkat terakhir brigadir jenderal (TNI) ini sarat kritik terhadap penggundulan hutan, yang tidak hanya melibatkan pejabat tinggi pemerintah tapi juga pejabat militer, dengan “ijin” pemerintah pusat. Melalui novel ini pembaca diajak mengeksplorasi keganasan dan sekaligus keindahan alam Kalimantan. Saat-saat awal bagian hutan hujan tropis di Indonesia, paru-paru dunia, itu mulai digunduli secara semana-mana. Kita juga diajak berpetualang untuk menemuai pengetahuan dan sekaligus kearifan lokal masyarakat Dayak di rimba raya Kalimantan, serta bagaimana konspirasi para penguasa berkorupsi & berkolusi serta merusak lingkungan. Dari novel ini kita mendapatkan penjelasan bahwa korupsi adalah tindakan kriminal, yang biasanya dilakukan oleh para penguasa, yang merugikan manusia dan lingkungan hidup.

Dari segi bahasa, "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, corrupt, yakni perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Secara hukum pengertian "korupsi" adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Masih banyak pengertian lain tentang korupsi baik menurut pakar atau lembaga yang kompeten, termasuk dari Ormas Islam.

Dua buku yang diterbitkan NU dengan judul ‘NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fikih’ dan Muhammadiyah dengan judul ‘Fikih Anti Korupsi: Perspektif Ulama Muhammadiyah’) memiliki ta’rif atau pengertian korupsi yang sama. Kedua buku ini memberi definisi korupsi sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan sendiri. Hal ini sangat dimungkinkan, karena keduanya mengambil referensi yang sama (Kamus Inggris-Indonesia, Oxford, Kamus Besar Bahasa Indonesia), UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintah yang Bersih dan Bebas KKN, dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [UU Antikorupsi]). Namun dalam pandangan Islam tentang korupsi dalam kedua buku resmi terbitan Ormas terbesar itu ada perbedaan. NU lebih menitikberatkan pada asal-usul manusia sebagai seorang khalifah yang diberi amanah untuk mengatur kehidupan dunia agar menjadi lebih baik (h. 58). Tentang rizki dan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi, dengan berpatokan pada kaidah fiqih (ma haruma akhdhuhu, haruma I’tho uhu), NU menekankan bahwa uang hasil korupsi adalah haram dan tidak akan berubah menjadi halal, meskipun uang itu telah dizakati, dipakai untuk menyantuni anak yatim, diberikan sumbangan pada masjid, madrasah dan pesantren, maupun digunakan untuk ibadah umrah dan haji (h 121). Sementara itu, Muhammadiyah memberi tekanan pada prinsip dasar Islam dalam tatanan kehidupan sosial. Untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan beradab, manusia harus berperilaku amanah, bertindak adil, dan mau melakukan amar makruf nahi munkar (h. 39 - 48).

Walau terdapat banyak pengertian tentang korupsi, termasuk penyebabnya, modusnya dan ciri-cirinya, yang pasti korupsi selalu membawa dampak negatif. Menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (www.transparansi.or.id) korupsi sistemik membawa dampak negatif terhadap proses demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan, yakni:

1. Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
2. Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
3. Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
5. Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.

Korupsi yang sistemik juga menyebabkan:

1. Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
2. Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga publik;
3. Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak semestinya.

Tatanan birokrasi, tatanan masyarakat dan pengelolaan lingkungan hidup yang parah, hasil peninggalan Orde Baru yang korup, telah melahirkan gagasan di kalangan masyarakat sipil: tata pemerintahan yang baik (good governance) sebagai solusi alternatifnya. Bak gayung bersambut, istilah ini semakin populer di masyarakat—sepopuler dengan kata reformasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Secara sederhana prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik meliputi: 1. Partisipasi Masyarakat; 2. Tegaknya Supremasi Hukum; 3. Transparansi; 4. Peduli pada pemangku kepentingan (stakeholder); 5. Berorientasi pada Konsensus, 6. Kesetaraan; 7. Efektifitas dan Efisiensi; 8. Akuntabilitas; 9. Visi Strategis

Tata kelola pemerintahan yang buruk dalam masa Orde Baru dan pemerintah setelahnya telah membuat Indonesia masuk ke dalam daftar negara paling korup di dunia untuk beberapa lama. Pada saat yang sama, dalam upaya untuk mencari penyebab terjadinya krisis, masalah tata kelola pemerintahan menjadi sesuatu yang mendesak. Catatan Negara terkorup ini dapat dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2007. seperti yang dirilis Transparency International (TI) IPK Tahun 2007 menunjukkan peringkat korupsi Indonesia merosot. Indonesia berada di urutan ke- 143 dengan skor 2,3 atau lebih buruk dibandingkan 2006 yang berada pada peringkat ke-130 dengan skor 2,4. IPK merupakan peringkat korupsi yang diamati dari pelaku usaha dan analis tiap negara.Survei IPK mencakup 180 negara dan diukur dengan skor antara 0 hingga 10.Skor 0 merupakan indikator paling korup,sedangkan 10 paling bersih. Dalam daftar IPK 2007, peringkat IPK terburuk diterima Somalia dan Myanmar dengan skor 1,4. (SINDO, 27 September 2007).

Kemerosotan Indeks ini menurut Transparency International Indonesia (TII), dikarenakan tidak seriusnya kepada Negara dalam memberantas korupsi. Lebih lanjut, TII menagih janji kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memimpin langsung gerakan pemberantasan korupsi dan memastikan instruksinya dijalankan, serta memobilisasi dukungan lembaga lain, seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, Taufiequrachman (ketua KPK saat itu) menyatakan, keberhasilan pemberantasan korupsi di negara-negara lain karena dukungan kepala negaranya. "Presiden Yudhoyono perlu lebih kenceng memberantas korupsi. Di negara mana pun, keberhasilan pemberantasan korupsi bergantung pemimpin," katanya seperti dilansir KOMPAS, 27 September 2007.

Pemberantasan korupsi di Indonesia memang tidak mengalami kemajuan sejak 2003. Hal itu tercermin dari relatif rendahnya indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia sejak tahun itu. Pada tahun 2003 IPK 1.9, tahun 2004 IPK 2.0, tahun 2005 IPK, 2.2, tahun 2006 2.4, dan 2007 IPK 2.3. Bahkan, sejak 2002 sampai dengan 2007 IPK Indonesia hanya berada di kisaran angka 1,8 sampai dengan 2,3 pada skala dari 0 sampai dengan 10. Angka 0 adalah skor IPK untuk mengindikasikan tingkat persepsi terhadap korupsi yang tinggi dan 10 untuk tingkat persepsi yang rendah.

Islam, Good Governance, dan Gerakan Anti Korupsi. Memang ini bukan tema baru. Namun mengkaitkan antara ketiga wacana di atas rasanya tema ini masih cukup menjadi bahan perbincangan yang selanjutnya, semoga, menjadi wacana baru dalam kehidupan ummat Islam. Pada awal reformasi, di tengah tantangan besar seperti korupsi yang memengaruhi segala aspek kehidupan manusia, sayangnya ummat Islam cenderung terjebak dengan persoalan internalnya.

Begitupula dengan wacana good governance. Padahal kedua wacana tersebut bukanlah istilah yang baru ditemukan. Menurut Ahmad Fawaid Sjadzili “Fiqh Good Governance dan Anti-korupsi” korupsi merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, maka sudah pasti Islam mencelanya. Dengan demikian, segala tindakan yang secara moral tercela, maka dalam Islam selalu diidentifikasi dalam kategori dosa yang mendapat siksa bagi pelakunya. Sebaliknya, segala perbuatan yang secara moral terpuji, maka dalam Islam selalu diidentifikasi dan dijanjikan pahala bagi pelakunya. Artinya, segala tindakan yang berdampak positif bagi kemaslahatan publik merupakan tindakan yang sangat dianjurkan, dan sebaliknya segala tindakan yang berdampak negatif bagi kemaslahatan publik sangat dicela. Dalam konteks ini, korupsi merupakan tindakan amoral yang dihujat semua orang.

Tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) merupakan prasyarat utama dalam pemberantasan korupsi. Tata kelola pemerintahan yang baik ini setidaknya didasarkan pada tiga prinsip utama, yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Transparansi ini diwujudkan dengan memberikan akses yang terbuka ke semua kalangan dalam setiap prosesnya. Dalam terminologi agama, transparansi ini disetarakan dengan kejujuran. Kejujuran merupakan pilar penting dalam terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik. Pilar kedua akuntabel. Dalam bahasa agama, ini terkait amanat, setia, dan tepat janji (al-amanah wa al-wafa’ bi al-‘ahdi). Orang yang mengedepankan transparansi dan jujur dalam tingkah lakunya, biasanya akan mudah dipercaya, dan dipastikan setia dan tepat janji. Adalah umat manusia yang ditahbiskan menjadi khalifah di muka bumi ini memiliki tanggung jawab untuk mengelola kehidupan. Bentuk tanggungjawabnya tentu saja beragam, dan sangat bergantung dengan peran yang dilakoninya. Sedangkan pilar ketiga partisipasi. Terminolongi ini dalam bahasa agama dikenal dengan prinsip at-ta’awun (gotong-royong). Pilar ini penting karena betapa pun individu-individu telah memegangi sifat jujur, bertanggungjawab, dan adil, namun tanpa dibarengi dengan semangat kerja sama dan kooperasi, maka untuk menggapai kebaikan bersama menjadi demikian sulit.

Ahmad Mahromi dalam makalahnya Melawan Korupsi dengan Agama: Melampaui Hukum Positif. mencoba mengaitkan peran agama dalam kehidupan publik ini diawali dengan serangkaian data korupsi dan penanggulangannya di Indonesia: agama juga mengurusi masalah kemasyarakatan, termasuk tawaran solusinya.

Dalam perbincangan mengenai bagaimanakah peran agama seharusnya dalam ruang publik, di penutup penulis menguraikan tentang dimensi kepublikan dari agama tersebut, yaitu berusaha menghindari sekularisasi klasik yang menolak agama, sekaligus juga sedikit meluruskan para Islam garis keras yang keliru mamahami dimensi publik agama tersebut.

Zuly Qodir menjelaskan upaya praksis yang dilakukan ummat Islam dalam memberantas korupsi dalam artikel Gerakan Muhammadiyah-NU Memberantas Korupsi:Evaluasi dan Refleksi. Tidak sebatas membeberkan upaya-upaya yang dilakukan dua Ormas Islam terbesar dalam memberantas korupsi, namun pendidik UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini juga mengevaluasi dan merefleksi gerakan yang sudah dilakukan. Tentunya, dengan harapan agar gerakan yang dilakukan lebih masif dan efektif. upaya melawan korupsi (jihad anti korupsi) antara Muhammadiyah dan NU baru dimulai di tahun 2004. Bersatunya Muhammadiyah-NU dalam gerakan pemberantasan korupsi, yang kemudian mendapatkan dukungan dari elemen-elemen masyarakat di luar Islam seperti Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu untuk memberantas korupsi di negeri berpenduduk mayoritas Islam. Tak hanya masyarakat Indonesia yang berhadap gerakan kedua Ormas Islam tersebut, namun juga masyarakat internasional.

Menurutnya, gerakan untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan ini tidaklah mulus. Tantangan Gerakan Muhammadiyah-NU dalam memberantas korupsi, tidak berasal dari faktor eksternal saja, tetapi juga dari internal. Misalnya, sulitnya melakukan audit internal organisasi atas orang-orang tertentu yang diduga atau secara desas-desus “memanfaatkan” Ormas untuk kepentingan pribadinya. Akibatnya, gerakan anti-korupsi kurang bergema dan efektif.

Melihat tidak masif dan efektinya gerakan yang digagas oleh Ormas Islam terbesar ini, penulis menibaratkan perang pendekar di goa hantu. Muhammadiyah-NU gencar melakukan kampanye anti-korupsi, tetapi hal itu sangat tergantung dengan pendanaan yang diharapkan bisa membantunya. Jika tidak ada dana yang membantunya, maka kampanye anti-korupsi juga tidak bisa dikerjakan secara serius dan terus menerus. Menurutnya lagi, sebenarnya menjadi tantangan utama gerakan anti-korupsi di Indonesia adalah perang melawan nafsu yang ada pada diri kita sendiri, terdapat pada institusi di mana kita berasal, agama dimana kita sama-sama memiliki ikatan emosional-primordial. Untuk itu, sebagai institusi keislaman, gerakan Muhammadiyah-NU dalam memberantas korupsi sebenarnya akan efektif bila dimulai dari dalam organisasi. Caranya, pelaku korupsi diberi hukuman dengan efek jera yang lebih “sadis” agar memberi contoh pada publik. Sebagaimana kisah Nabi Saw atas Fatimah yang ditanya soal pencurian, jika Fatimah putriku kata Nabi mencuri maka akan saya potong tangannya.

Nur Imam Subono, Masyarakat Warga, Demokrasi Partisipatoris, dan Good Governance: Menuju Representasi Populer, peneliti DEMOS ini mencoba memaparkan keberadaan dan kiprah Forum Warga dalam kaitannya partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi yang saat ini banyak mendapat kritik dan juga keraguan. Pada saat bersamaan, memberikan penilaian atau tinjauan kritis atas tatakelola pemerintahan yang diasumsikan sebagai jalan keluar yang pas untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan masyarakat dengan sifat dari bawah ke atas. Selain itu, tulisan ini mencoba mencari solusi yang lebih memadai dalam upaya kita memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia agar lebih ”bermakna” buat masyarakat pada umumnya.

Masalah internal umat Islam yang saat ini masih melilit tidak bisa menjadi alasan untuk menutup diri. Di antara problem krusial yang menyebabkan keterbelakangan umat Islam adalah korupsi. Korupsi mesti diberantas karena inilah penyakit utama yang mengganjal kemajuan bangsa Islam selama ini: kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Pemberantasan korupsi nampaknya akan tetap menjadi cerita masa kini, dan korupsi tidak menjadi sejarah, jika dunia Islam masih mengamanatkan kepada pemimpim yang lemah, sekalipun dipilih secara demokratis.

Tidak ada komentar:

Anda pengunjung ke