Kamis, 13 Maret 2008

Kabupaten Majalengka (Jawa Barat)


Kabupaten Majalengka sebuah kota kecil yang bersahaja di Jawa Barat. Di sana tidak ada gedung pencakar langit, tidak semarak oleh jajaran mall atau pusat perbelanjaan modern lainnya. Malahan, kota kecil ini nampak bersih. Kebersihan tidak hanya nampak pada fisik kota, namun juga komunitas masyarakatnya. Salah satunya adalah di Pondok Pesantren Al Mizan di Desa Ciborelang, Kecamatan Jatiwangi.

Kebupaten Majalengka berada pada ketinggian 19 – 857 m di atas permukaan laut. Sebagian besar merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 500 – 857 m di atas permukaan laut, 40%. Kondisi ini menjadikan kabupaten seluas 1204,24 km2 yang meliputi 23 kecamatan mempunyai tanah yang subur. Tak salah jika Pemerintah Kabupaten Majalengka mengandalkan bidang agribisnis dalam upaya meningkatkan pemasukan asli daerah. Hal ini tercermin dari catatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2005 yang mencatat pemasukan sebesar 30,08% dari sektor agribisnis, terdiri dari pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Bahkan, potensi di sektor agribisnis ini dijadikan visi kabupaten “Majalengka Kabupaten Agribisnis Termaju di Jawa Barat Tahun 2010 Berbasis Masyarakat Agamis dan Partisipatif”.

Kabupaten Majalengka yang terdiri dari 331 desa (264 berstatus desa swadaya dan 67 berstatus desa swakarya) berpenghuni penduduk sebanyak 1.169.337 (2005), yang terdiri dari laki-laki 577.633 jiwa dan perempuan 591.704 jiwa. Ini artinya, kabupaten yang luasnya 2,71% luas Provinsi Jawa Barat ini kepadatan penduduknya mencapai 971 orang per km2. Mayoritas penduduk usia kerja di Majalengka bergerak di bidang pertanian, yaitu sekitar 58,73 % dari total penduduk usia produktif. Komoditi utama pertanian yang memegang kendali utama selain padi, adalah tanaman ubi kayu dan bawang merah.

Selain itu, 36% dari total penduduk usia produktif bekerja di sektor industri pengolahan. Industri pengolahan yang ada bermacam-macam, misalnya: industri bola sepak, genteng keramik, anyaman rotan, anyaman bambu, dan makanan. Industri pembuatan bola sepak terdapat di Kecamatan Kadipaten berkualitas ekspor. Negara tujuan ekspor meliputi Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, serta Amerika. Bahkan, perusahaan bola sepak di Majalengka ini pernah memenangkan tender pada Piala Dunia di Perancis tahun 1998. Dan, sangat dimungkinkan pada Piala Dunia di Afrika Selatan 2010, bola sepak dari tangan-tangan trampil masyarakat Majalengka akan menjadi perwakilan Indonesia di ajang yang menyedot perhatian seluruh masyarakat dunia itu.

Pusat perekonomian Kabupaten Majalengka ada di wilayah utara. Pasar besar terdapat di Kecamatan Kadipaten dan Jatiwangi. Di pasar-pasar itu hasil pertanian dan industri olahan dari kecamatan lain dipasarkan.

Kekayaan alam di bumi Majalengka cukup besar dan didukung kemampuan sumber daya manusianya yang ulet serta terampil cukup menjadi modal utama bagi kabupaten ini untuk mencapai cita-cita (semboyan kota): Sindangkasih Sugih Mukti, yang berarti Majalengka (Sindangkasih) kaya dan bahagia.

Selain bola sepak yang menjadikan Majalengka di kenal masyarakat internasional, di bidang sastra kabupaten yang ulang tahunnya diperingati setiap tanggal 7 Juli ini juga melahirkan seorang sastrawan yang dikenal masyarakat internasional: Ajib Rosidi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ulrich Kratz (1988), salah seorang peneliti sastra Indonesia asal Inggris, hingga tahun 1983, Ajip adalah pengarang puisi dan cerita pendek yang paling produktif, yang telah menghasilkan 326 judul karya yang dipublikasikannya dalam 22 majalah, seperti majalah sastra Horison, Kisah, Zenith, Mimbar Indonesia, dan Budaya Jaya. Oleh karena itu, selain dikenal sebagai penyair, Ajip dikenal pula sebagai penulis cerita pendek, novel, dan naskah drama, yang ditulisnya tidak hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa Sunda.
Penyair kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938 ini, mulai menulis kegiatannya dalam bidang sastra sejak usia remaja. Pendidikan formal yang ditempuhnya hanya tingkat SMA, dan itu pun tidak tamat. Namun demikian, Ajip mampu mengembangkan dirinya hingga mencapai tingkat dunia, yang ditempuhnya secara autodidak. Kemampuan Ajip dalam menulis tidak hanya menguasai satu bidang, tetapi banyak bidang (puisi, cerpen, novel, esai). Namun, orang lebih mengenalnya sebagai penyair yang pernah mendapat Hadiah Sastra Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) pada tahun 1955-1956 untuk kumpulan puisi yang ditulisnya (Pesta). Hadiah yang sama juga diterimanya pada 1967-1968 untuk kumpulan cerita pendek yang ditulisnya, yang diberi judul Sebuah Rumah Buat Hari Tua.

Di tingkat nasional, menginjak usianya yang ke-517, citra Majalengka membaik. Tahun 2007 kota ini kembali mendapat penghargaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Hal ini ditandai dengan diterimanya Satya Lencana Pembangunan Bidang Pertanian serta Bidang Koperasi & UKM oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Tekad untuk menjadi lebih baik dapat dilihat dari visi pembangunan kabupaten ini, yang berusaha menjadikan masyarakatnya agamis dan partisipatif. Upaya pemerintah untuk mengajak masyarakatnya lebih agamis (Islamis) ini seolah meneruskan perjalanan sejarah keagamaan masyarakat Majalengka.

Menurut berbagai sumber sejarah, sekitar tahun 1480 M, masa masuknya agama Islam di Jawa, di Desa Sindangkasih Majalengka berkuasa Ratu Nyi Rambut Kasih, keturunan Prabu Siliwangi yang memeluk Agama Hindu. Dalam suatu waktu, Ratu mendengar daerah Talaga, tempat tujuan awal ia akan bermukim, sudah masuk Islam. Sehingga ia urung menggapai tujuan awalnya, dan menancapkan kekuasaanya di Sindangkasih (Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati).

Tahun 1489, Pangeran Muhammad dan istrinya Siti Armilah mendatangi Nyi Rambut Kasih untuk mengajak ratu masuk Islam, dan kerajaanya menjadi bagian wilayah Kesultanan Cirebon. Nyi Rambut Kasih menolak, dan pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon menjadi babakan sejarah masuknya Islam di Majalengka. Akhir pertempuran itu, Kerajaan Sindangkasih menjadi bagian kesultanan, dan Ratu Nyi Rambut Kasih tetap memeluk Hindu. Tak lama berselang, Kesultanan Cirebon wilayahnya semakin luas, yakni, Talaga, Maja, dan Majalengka. Sejak itu, babakan baru sejarah keagamaan masyarakat Majalengka dimulai, dengan penyebaran Agama Islam oleh bupati yang memeluk Islam.

Pada 1650, pengaruh Mataram masuk ke Majalengka, karena Cirebon telah menjadi kekuasaan Mataram. Akibat kekalahan perang antara Kerajaan Mataram dan kolonial, tahun 1705, seluruh Jawa Barat masuk kekuasaan Hindia Belanda. Pada 1706 Belanda menetapkan Pangeran Aria Cirebon sebagai gubernur, bagian dari struktur kekuasaan kolonial, untuk seluruh Priangan. Para bupati diberi wewenang untuk mengambil pajak dari rakyat, termasuk Majalengka bagi kepentingan upeti kepada Belanda. Di bawah pemerintahan kolonial, Majalengka, tidak memiliki kekuatan politis keagamaan. Galibnya, pendidikan keagamaan terabai oleh pemerintah. Hal ini menjadi perjalanan umum sejarah pendidikan keagamaan di Indonesia, pendidikan keagamaan selanjutnya berbasis di masyarakat: pesantren salah satunya.

Tidak ada komentar:

Anda pengunjung ke